Sondag 10 Maart 2013

Ayam Kalkun

“BILA KALKUN MENCARI CINTA”
Cerpen : Lukas. MG

Air kolam beriak kecil. Membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang lama-kelamaan kian besar dan akhirnya lenyap dipinggiran kolam.
Di pohon akasia Timo bersandar. Sendiri. Kerikil yang tadinya segenggam, tinggal beberapa butir lagi. sebagaian besar telah tenggelam, menyatu dengan pasir dan lumpur.
“Kucari kau kemana-mana. rupanya ngumpat disini”, ada suara dari belakang membuat Timo mengurungkan niatnya melemparkan sebutir lagi kerikil kedalam kolam. Timo menoleh. Rika memandangnya tersenyum. Timo membalik lagi. acuh tak acuh atas kedatangan Rika. Ia memandang riak-riak air dipermukaan kolam.
“Mo, aku punya novel baru nih”, Rika duduk disamping Timo. “Bagus Mo, ceritanya”,  Riak mengamangkan novel itu dihadapan Timo, tapi laki-laki tak bereaksi. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Matanya masih saja lekat dipermukaan kolam.
“Kalau kau mau, kau boleh pakai dulu”, ujar Rika lagi.
“Sudah selesai kau baca ?”, Timo menyambut novel yang disodorkan Rika. Membukanya.
“Belum, sahut Rika. “Baru seperempatnya saja”, Rika melemparkan juga sebutir kerikil ke tengah kolam.
“Teruskan saja hingga selesai”, balas Timo. “Mengerjakan sesuatu tidak boleh tangung-tanggung”, ia mengembalikan novel karya Gerson Poyk itu pada Rika.
“Tidak apa-apa, Mo. Aku bisa belakangan?, kilah Rika.
“Kau selalu saja mengalah untukku”, kata Timo.
“itukah yang kau pikirkan tadi ?”
Timo menggeleng.
“Oya Mo, diharapan filmnya bagus lho ! Kita nonton nanti ya”, Rika mengajak.
Timo tak menanggapi. Ia mendesah pelan. Ditendangnya kerikil didekat kakinya hingga terpental ke sudut kolam.
“Maaf, aku tak sempat, Rik”, sahut Timo kemudian.
“Tak apalah”, ujar Rika. “Tapi, mengantarkan aku ke rumah tante Rosna nanti malam bisa kan, Mo ?”
“Tak sempat, Rik ! Tak sempat !”, Timo kesal. Lantas berdiri. “Aku punya tugas yang lebih penting dari pada nonton atau mengantarkanmu ke rumah tante Rosna”, Timo melangkah, diikuti Rika.
“Mo, novel ini tak jadi kau pakai ?” Rika menjejeri Timo.
“Tidak, kau bacalah dulu”, balas Timo tak acuh. Rika kecewa. Matanya lekat pada ujung sepatunya. O, lelaki, betapa semakin jauh engkau dariku. Rika mengeluh dalam hati.
Kini, Timo dan Rika menggabungkan diri dengan teman-temannya yang sudah membentuk barisan di halaman sekolah. Sesaat tadi , bel tanda masuk sudah berdentang. Suatu kebiasaan bagi mereka, sebelum masuk kelas berbaris dulu untuk kemudian, saf demi saf masuk dengan tertib kedalam kelas.
“Kelihatannya, mulai akrab”, ujar David pada Timo ketika mereka mulai menyiapkan buku pelajaran yang akan diberikan pak Frans.
“Maksudmu ?”
“Ya, kau sama si Kalkun itu”, David menyikut rusuk Timo.
“Akh, itu perkiraanmu saja”, balas Timo. “Aku sebel, benci sama dia”
“Senang betul dan benar-benar cinta, ya MO”
“Hush, pantatmu ! Bukan itu yang ku maksud. Aku memang tak suka sama dia. Dia saja yang tak tahu diri, menguber terus”
“Kalau dia tidak begitu, aku merasa sampai kiamat pun dia tak bakalan dapat pacar. Lihat jerawatnya, bertaburan macam kerikil di dasar sungai”, ujar David lagi.
Timo tak sempat menyahut karena pak Frans yang berkumis tebal dan kaku seperti ijuk itu sudah masuk kelas menggendong setumpuk buku.
Dan Rika si ayam Kalkun itu – entah siapa yang menempelkan gelar ini untuk pertama kali padanya – memang gadis yang super agresif. Dia tak segan-segan mendekati laki-laki yang menarik perhatiannya. Bermacam cara ia lakukan. Misalnya saja mentraktir bakso di kantin, mengajak nonton film atau hiburan lainnya, atau juga meminjamkan buku-buku bacaan.
Rika, sebetulnya tidak tergolong jelek betul. Wajahnya bulat. Tapi sayang, di wajahnya itu jerawat-jerawat bertaburan. Disana-sini ada parut-parut hitam seperti bekas bopeng kena cacar. Punggungnya sedikit melengkung seperti udang. Kalau berjalan, pantatnya persis pantat bebek, selalu tertinggal jauh dibelakang. Dan di kedua kakinya, parut-parut koreng bertebaran macam baut jembatan kayu. Barang kali inilah sebabnya maka Rika senantiasa dijauhi oleh laki-laki. Soalnya siapa sih yang mau punya pacar bermuka bopeng dengan kaki penuh kepala baut ? Dan barang kali inilah pula yang memaksa untuk menjadi gadis super agresif, menguber-uber lelaki yang ia idamkan. Sebab seperti kata David, kalau ia hanya pasif menunggu laki-laki mengantarkan cinta, sampai kiamatpun Rika tak bakalan punya pacar. Jadi kesimpulannya, kalau tidak dikejar, mestilah mengejar; kalau tidak dicari mestilah mencari.
Timo sedang mendengarkan acara Warung Sudi Mampir dari radio Telaga Biru ketika Rika datang.
“Darimana, Rik ?”, tanya Timo. “Malam-malam kau datang”
“Dari rumah Betty, Mo. Belajar”, sahut Rika, duduk disebelah Timo. “Warung Sudi Mampir, ya ?”, lanjut Rika mendengar kocak Bang Samiun, pengasuh acara itu. Timo mengangguk.
“Aku juga senang dengar acara ini”, ujar Rika lagi.
“Oya, boleh aku minta tolong, Mo ?”
“Apa yang bisa ku bantu ?” sahut Timo.
“Mengantarkan aku pulang. Aku tak berani pulang sendiri. Disana ada anjing galak suka menggonggong”
“Tadi perginya sama siapa ?”
“Sendiri”
“Sekarang kok nggak berani pulang sendiri ? Seperti biawak saja kau ini, Rik. Pandai manjat  tak bisa turun”
“Tadi masih sore ketika aku berangkat. Sekarang kan udah malam. Tolonglah, Mo. Sekali ini saja”, Rika menarik-narik lengan Timo.
“Ogah, ah ! Aku ingin mendengarkan acara ini sampai selesai”
“Aku bisa tunggu, Mo. Asal kau mengantarkan aku pulang”, Rika mendesak.
“Nanti juga sudah terlalu malam. Aku takut pulang sendiri”, balas Timo.
“Nginap di tempatku saja”, sela Rika.
“Huh...jarak rumah kita Cuma empat ratus meter, buat apa mesti nginap ?”
“Sampai hati kau, Mo”, Rika hampir menangis.
“Salah sendiri”, jawab Timo ketus. “Siapa suruh kau jalan malam-malam”
“Kalau begitu biar aku nginap disini saja”
“Boleh”
“Betul ?”
“Kenapa tidak ?” sahut Timo pasti. “Gudang ini belakang dapur masih muat menampungmu. Kau pasti tidak akan kesepian sebab di situ banyak tikus, hahaha......”
“Jahat ! Tega benar kau permainkan aku, Mo”, Rika merengut. Air mata mulai merayap disela-sela jerawatnya seperti anak air yang mengalir di celah bebatuan. “Kalau kau tak mau mengantarkan aku, biar aku pulang sendiri. Pokoknya nanti kalau terjadi apa-apa, kau yang tanggung jawab”, Rika melangkah pergi tanpa permisi. Timo yang cuma main-main tadi merasa iba juga.
“Rika ! Tunggu !”, Timo berseru. Langkah Rika tertahan di mulut pagar. “Biarlah sekali ini aku mengalah. Aku antarkan kau pulang”, Timo menyusul. Wajah Rika kini berseri. Senyum dibuat-buat.
“Terima kasih, Mo. Kau memang baik”, Rika menggandeng lengan Timo, tapi Timo segera menariknya kembali.
“Kenapa sih Mo ?” tanya Rika heran.
“Badan ku suka panas dingin kalau di pegang- pegang perempuan”, dalih Timo.
“Ah masa”
“Sungguh”
“Kalau begitu, tolong bawakan buku-buku ini”
“Dengan berat, Timo menerima juga buku yang di sodorkan Rika.
Rumah yang tak seberapa besarnya itu tampak sepi-sepi saja ketika Timo dan Rika sampai. Mungkin penghuninya sedang nonton teve di dalam, atau barang kali sudah tidur.
“Bukumu, Rik !”, ujar Timo menghentikan langkahnya di pintu pagar. “Aku sampai disini saja”
“Tidak mampir dulu ?”
“Lain kali saja. Aku sudah ngantuk”
“Terima kasih, Mo. Tapi, ngg.....”, tiba-tiba Rika menghadang di depan Timo. Menatap laki-laki itu seperti mengharapkan sesuatu. Tatapan yang memancarkan suatu keinginan yang amat kuat mendesak dari dalam. Bergidik juga bulu kuduk Timo dibuatnya.
“Ada apa Rik ? Mengapa kau tatap aku seperti itu ?” tanya Timo.
“Aku sayang kamu, Mo ! Aku mencintaimu !”
“Sebagai teman ?”
“Bukan, sebagai kekasih !”, sahut Rika. “Kecuplah keningku untuk kubawa tidur dan mimpiku malam ini”
Timo mendesah panjang beberapa kali. Tingkah Rika yang laku lajak semakin membuat dia terpojok. Sekarang, mestikah ia memenuhi permintaan Rika ?
“Baiklah Rik, semoga saja kecupan mesra ku nanti akan memberi mimpi indah buatmu malam ini”, ujar Timo. “Sekarang, pejamkan matamu rapat-rapat. Luruskan juga kedua lenganmu”
Rika memejamkan kedua matanya, meluruskan kedua lengannya rapat di badan. Bibirnya merah menantang. Timo mengatur nafas. Satu detik, dua detik, tiga detik....hop ! Timo meloncat macam kucing menerkam tikus, lantas lari.
Sepuluh detik berlalu. Rika membuka matanya, karena ia tak merasa sedikitpun kecupan pada kening atau bibirnya. Timo sudah hilang ditelan gelap malam. Rika menghentikan kaki beberapa kali. Tinjunya beberapa kali diacungkan.
“Bangsat ! Lelaki pengecut !”, Rika menumpat, termangu di pintu pagar itu. Malam ini, rasanya bukan mimpi indah yang bakal ia nikmati, tapi adalah kenyataan yang amat menyakitkan. Betapa laki-laki itu telah mengecewakan dirinya. O,  kebahagian dan cinta, kenapakah semakin jauh saja ?
Istirahat pertama, kelas 2 A1 tampak meriah. Ada apa ?  Ternyata timo dan Rafika merayakan ulang tahun bersama. Acaranya sederhana saja. Lagu selamat ulang tahun telah usai di nyanyikan. Lalu disusul tepuk tangan. Semua penghuni 2 A1 menyalami Timo dan Rafika.
Sekarang, kue yang di borong dari kantin bu Kirmanto dibagi-bagikan. Masing-masing mendapat satu. Dan atas usul Bernadetha, Timo dan Rafika saling menyuapkan kue itu.
“Teman-teman”, ujar Timo setelah menelan habis kuenya “Kami berdua merasa gembira sekali pada hari ini, meski ulang tahun ini dirayakan secara sederahan saja. Selain itu pada hari bahagia ini, ada satu hal yang ingin kami berdua sampaikan kepada teman-teman sekalian. Dan untuk itu, saya berikan kesempatan kepada Rafika. Silahkan, Fik !”
Rafika tersenyum. Mengusap bibirnya dengan kertas tisu. Teman-teman  sekelasnya menahan nafas. Dalam hati masing-masing apa gerangan yang bakalan disampaikan gadis anggun dengan senyum memukau itu.
“Baiklah teman-teman”, Rafika memulai ucapannya. “Pada hari ini, saya dan Timo sudah sepakat untuk menyampaikan hal ini pada teman-teman semua, karena sudah sepatutnya diketahui. Ya, terus terang saya katakan, bahwa antara kami berdua, sudah sejak lama terpintal benang-benang kasih sayang. Kami berdua saling mencintai. Mungkin ada yang bertanya-tanya mengapa selama ini kami tak pernah kelihatan akrab ? Itu tak lain karena kami belum merasa mapan. Lagi pula, kami sudah merencanakan untuk membuat suatu surprise pada hari ultah ini”
Tepuk tangan riuh lagi.
“Saya punya usul”, Berto nyeletuk. “Sebaiknya Timo memberi kecupan selamat buat Fika”
“Betul ! Setuju !”, penghuni kelas 2 A1 itu berteriak, kecuali Rika si ayam Kalkun itu. Ucapan Rafika tadi membuat ia merasa betul-betul terbanting. Serasa lepas seluruh sendi tubuhnya. Terlebih lagi tatkala dilihatnya dengan mesra Timo mengecup kening Rafika. Lantas keduanya saling menyunggingkan senyum. Dan teriakan riuh teman-temannya, bagi Rika tak lebih dari belati yang di tikam pada jantungnya.
O, kasih sayang
O, kebahagiaan
Bilakah kan datang menyejuk hati
Dan
Si kalkun melangkah lagi
Terseok-seok di jalanan berdebu
Lang-lang buana mencari cinta
Dimanakah kan didapati ?

= s e l e s a i =

HSCA. 28.01.89







Sewon, Yogya, senin, 13 April 1998

Perjalanan kisah cinta ABG (Anak Baru Gede)
Menarik untuk di ulas. Dalam cerpen ini ada beberapa nilai atau makna percintaan yang dipaparkan. Pertama, bahwa perasaan cinta itu tak selamanya bisa disembunyikan (tokoh Timo). Kedua, dalam mengaku cinta kadang-kadang seseorang lupa diri (tokoh Rafika).
Sebagai pelengkap bumbu kehidupan, pertualangan cinta memang selalu menarik perhatian. Namun kita harus hati-hati menafsirkan makna cinta yang disampaikan oleh orang yang mencintai.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking