Sondag 10 Maart 2013

Lagu Cinta Dari Sekadau

Lukas MG
Jln.H.Rais.A.Rachman
Gg. Gunung Sahari 47
PONTIANAK

“LAGU CINTA DARI SEKADAU”
OLEH: Lukas MG

Sekadau adalah sebuah kota kecamatan kecil di Kabupaten Sanggau. Tak banyak perobahan yang terjadi dengan kota ini sejak aku mengenalnya lima tahun yang lalu. Hanya disana sini ada polesan bedak dan lipstick sekedar mempercantik diri. Selebihnya ada satu atau dua bangunan baru. Namun itu tak begitu berarti. Tak akan membuat aku pangling. Sebab dulu, setiap sudut dari kota kecil ini telah kukenal dengan baik.
Sempat pula aku tinggal untuk semalam di kota ini dalam perjalanan kembali ke Kota Khatulistiwa, Pontianak. Dan sebuah penginapan sederhana agaknya berkenan menampung diriku.
Sejak kedatanganku dari Sei Ayak sore tadi, aku mendekam saja di kamar. Sesekali aku duduk di peranginan yang menghadap ke Sungai Kapuas, menyaksikan kesibukan orang-orang di sana. Bandung-bandung yang hilir mudik; sampan-sampan yang bersimpang siur; anak-anak yang mandi sambil berkejaran dengan riang, serta ibu-ibu dan tak ketinggalan pula gadis-gadis yang mencuci, membasuh pakaian disana, tak lepas dari perhatianku. Semuanya memberikan pemandangan yang amat mengasyikkan !
Namun tak urung pada akhirnya kejenuhan menyergap juga. Apalagi ketika senja mulai turun, segalanya jadi gelap. Pekat. Demikian pula sungai Kapuas. Hanya sesekali ada sorot lampu dari bandung-bandung ataupun sampan yang sedang lewat.
Malam tiba!
Ada keinginan yang kuat memaksaku untuk meninggalkan penginapan sekedar menikmati udara segar di luar.
Ku susuri kembali lorong-lorong yang dulu pernah kuselusuri. Dan tanpa terasa sampailah aku di depan Oscar Theatre, satu-satunya gedung bioskop dan tempat hiburan yang ada di kota ini.
Aku ingat, gedung ini dulunya adalah bekas sekolahan Tionghoa. Hal ini kuketahui dari cerita rakyat setempat. Tahun berapa tepatnya gedung ini dibangun, aku sendiri tak tahu. Tapi tampaknya sudah sangat tua, dengan model bangunan khas Cina pula.
Setelah tidak berfungsi lagi sebagai sekolahan Tionghoa, gedung ini kemudian dijadikan gedung olahraga atas kebijaksanaan Uscam setempat. Dan terakhir, seorang pengusaha telah menyulapnya menjadi gedung bioskop yang setiap malamnya selalu ramai dikunjungi, terutama oleh muda mudi.
Sebenarnya ketika meninggalkan penginapan tadi, tak ada niatku untuk nonton. Namun ketika kulihat film yang main cukup bagus yakni : KEMBANG SEMUSIM, yang dibintangi oleh Marissa Haque dan kawan-kawan, hatiku tergerak juga.
“Itung-itung, lumayanlah buat perintang waktu !”, begitu pikirku.
Kulirik Seiko Quarts yang melingkar di pergelangan tanganku. Waktu menunjukkan pukul sembilan belas lewat empat puluh lima menit. Berarti lima belas menit lagi filmnya main. Ya, karena disini mainnya cuma sekali dan mulai pukul dua puluh tepat.
Tergesa-gesa aku menuju loket. Membeli selembar HTM yang harganya tak lebih dari empat ratus perak.
Beres ! Dan aku segera masuk mengikuti arus massa!
Setelah celingukan kesana kemari serta mencocokan seat number yang tertera pada HTM itu, akhirnya kutemukan juga tempat duduk yang dimaksud.
“Sialan!”, terpaksa aku ngedumel dalam hati. Tempat duduk yang semestinya diperuntukkan bagiku, ternyata telah diserobot orang lain. Seorang pemuda yang tampaknya sedang asyik bercanda dengan gadis di sampingnya. Mungkin pacarnya, tapi, akh. . . peduli setan, daripada aku mengganggu keasyikan mereka, lebih baik kucari tempat lain saja.
Dasar aku memang suka mengalah!
Terpaksa aku celingukan kembali mencari tempat duduk yang masih kosong. Untung saja filmnya belum main dan keadaan di dalam ruangan masih terang benderang sehingga aku tidak mengalami banyak kesulitan.
“Hai, kok bengong?”, ada yang menyapaku. Suaranya lembut. Seketika aku berpaling ke arah datangnya suara itu. Seorang gadis memandangku dengan senyum di kulum. Manis. Sumringah sekali. Rambutnya dikuncir dua. Ada hiasan bunga. Pakai T-Shirt bertuliskan UCLA, dilengkapi pula dengan rok kotak-kotak. Serasi sekali tampaknya.
“Rejeki, nih!”, pikirku karena kulihat tempat duduk di sebelahnya masih kosong.
“Boleh aku duduk di sini?”, pintaku kepadanya.
“Boleh. Boleh saja, Luk!, jawabnya manis.
Hatiku bersorak kegirangan, tapi ow. . . tunggu dulu. Darimana gadis ini tahu namaku sedang aku sendiri merasa tidak mengenalnya sama sekali.
“Lho. . . situ kok tahu namaku?”, tanya tanpa menutupi keheranan yang menyelimuti benakku, lantas duduk di sampingnya.
“Astaga. . .??!!”, jawabnya tak kalah heran. “Jadi kau sudah lupa kepadaku, ya?”
“Emangnya kita pernah berkenalan?”
“Tentu! Tentu!, sahutnya lincah. “Coba ingat-ingat, siapa yang pernah duduk sebangku denganmu ketika kau masih duduk di bangku kelas satu SMP St.Gabriel - Sekadau ini!”
Beberapa jenak aku berpikir. Melayangkan kembali ingatanku ke masa-masa ketika aku masih duduk di bangku SMP St.Gabriel yang sempat kududuki cuma setahun karena tahun berikutnya aku pindah.
“Nah. . . aku tahu sekarang!”, cetusku kemudian. “aku ingat kini. Kau pasti Wit. Witona, iya kan?”
Dia mengangguk kecil. Itu berarti bahwa dugaanku tidak meleset. Memang cespleng juga rupanya!
Tak kusangka, begitu banyak perubahan yang terjadi pada dirinya selama beberapa tahun terakhir ini. Witona telah mekar menjadi seorang gadis manis yang lincah.
“Kau masih sekolah disini?”, aku bertanya tentang sekolahnya.
“Hng. .ng!”, dia mengiyakan. “di SPG St. Paulus!”, tambahnya menjelaskan.
“Kamu?”, Wit balik bertanya.
“Pontianak. SMA Negeri III ”, jawabku pendek.
Film belum lagi mulai !
“Sendirian aja?”, tanyaku menyelidik.
“Enggak!”, jawabnya. “sama Della. Masih ingatkan?”, lanjutnya.
Ya, ya, aku ingat. Della adalah teman karibnya. Mereka memang selalu kompak. Dan kekompakan itu agaknya sampai kini belum luntur-luntur jua. Ah. . . sebuah persahabatan yang sejati, pikirku. 
“Della mana?”
“Tuh. . . dengan Anton!”, jawabnya singkat seraya menuding ke arah dua insan yang sedang berbincang-bincang dengan mesra agak ke sudut.
“Ya ampun. . . . !”, pekikku dalam hati. Anton yang Wit maksudkan ternyata adalah cowok yang tadi menyerobot tempatku. Busyet !
“Kamu kok menyendiri begini?”,
“Siapa bilang?”,
“Aku!”
“Lho, emangnya kamu bukan temanku?”, Wit menyudutkan.
Aku tersipu.
“Maksudku. . .ng, yang istimewa, gitu!”
“Hmh. . .!”, Wit tersenyum. Lagi-lagi senyum. Ada apa sih?
“Aku belum punya teman semacam itu”, katanya kemudian.
“Akh, masa!”, kataku tak percaya.
“Heran, ya?”
“Hng, . . .ng!”, aku mengangguk pelan.
“Belum ada yang kena di hati”, jelasnya.
“O. . . begitu?”. Aku manggut-manggut. “Kalau aku bagaimana?”, lanjutku memancing. Biasaaaa, pasang jerat dulu!
Belum sempat Wit menjawab pertanyaanku, tiba-tiba suasana berubah menjadi gelap. Lampu-lampu dimatikan. Menyusul kemudian berkumandangnya lagu-lagu perjuangan di masa empat lima. Satu Nusa Satu Bangsa, diteruskan dengan Garuda Pancasila, ciptaan Sudharnoto.
Usainya lagu itu, maka di layar tampaklah Marissa Haque yang berperan sebagai gadis desa.
“Aku tak tahu, Luk!”, ucap Wit.
“Bagus!”
“Lho. . . ?”
“Dengan demikian aku tahu persis bagaimana perasaanmu terhadapku”
Tak ada jawaban. Hanya desahan nafasnya yang terdengar resah. Sementara di layar adegan demi adegan terus berlangsung.
Dan sesungguhnya, di awal perjumpaan tadi aku telah tertarik kepadanya. Suatu hal yang sama sekali tak pernah kubayangkan ketika kami masih sama-sama duduk di bangku SMP dulu. Maklum saja, masih ingusan kok!
“Ternyata kau dapat menyelami perasaanku, Luk”, ucap Wit pelan.
“Aku juga tak bisa memungkiri kalau sejak perpisahan kita dulu, diam-diam telah tumbuh perasaan aneh pada diriku. Kepergian membuat aku merasa kehilangan. Dan kehadiranmu yang tidak diduga malam ini, adalah suatu surprise bagiku”
Wit meletakkan kepalanya dengan manja dipundakku. Desahan nafasnya serasa menggetarkan sukma. Menggetarkan hatiku yang mendamba pula. Ah. . . . . . . . !
Namun segalanya mesti berakhir. Keberangkatanku tak bisa ditangguh lagi. Esok aku harus pergi meninggalkan kota ini. Meninggalkan Wit, si kuncir dua yang lincah. Meninggalkan sekeping harapan dan cinta untuknya.
“Apakah keberangkatanmu tak bisa ditunda sehari lagi, Luk?”, sendat Wit pilu ketika maksud itu kunyatakan kepadanya.
“Jika diturutkan kehendak hati, bisa saja, Wit!”, jawabku. “tapi. . . ada sesuatu urusan yang mesti kuselesaikan dengan segera di sana”, sambungku menjelaskan.
Wit tertunduk. Agaknya merasa berat hendak melepaskan kepergianku. Apa boleh buat, aku harus meninggalkannnya. Meski pertemuan kami cuma singkat, sesingkat film KEMBANG SEMUSIM, namun kesan yang tergores ternyata amat dalam. Dalam sekali !
“Jangan cemas, Wit!”, hiburku. “esok malam kita masih bisa berjumpa!”.
“Apa?”, Wit seakan tak percaya dengan ucapanku.
“Ya. . !”, tegasku. “kita masih bisa berjumpa esok malam”
“Disini?”
Wajah Wit kembali cerah.
“Tidak!”, kataku pendek.
“Lantas dimana?”
“Di dalam mimpi !”
“Dan. . . . . !
“Ih. . . . !”, Wit mencubit lenganku dengan gemas.
“Wadow. . . . . . . . !”, aku terpekik kesakitan. Wit tertawa senang.
Lantas, bak,buk, gedebuummmmmm. . . . . . !
Seketika aku merasakan sekujur badanku sakit-sakit. Seketika itu pula aku tersadar.
“Ya, ampunnnn. . . . . . !”, pekikku kaget. Ternyata aku jatuh dari atas dipan. Dan apa yang baru saja kuceritakan tadi ternyata hanyalah mimpi belaka.
Sialan. . . . . . !

=selesai=
Gunung Sahari, 17/2/83













Entah realita atau mimpi benaran , yang pasti cerpen ini berkadar sejarah. Ambil saja contoh : benar bahwa ketika sore tiba, orang-orang ramai mandi di sungai kapuas, seluruh setting cerita sesuai dengan realita. Atau harga tiket tanda masuk bioskop Oscar yang waktu itu (tahun 1983) masih Rp. 400; adalah benar adanya.
Jadi cerpern ini tidak hanya membawa perasaan kita ke arah perasaan batin cinta seorang anak muda tetapi ada sedikit kadar sejarah yang terungkap yakni sejarah sekilas Kota Sekadau yang dipergunakan sebagai setting cerita.

Sewon, Yogya, Rabu 30 Desember 1998

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking