“KENYATAAN”
Oleh : Lukas. MG
“Jadi akan kau berikan juga foto itu?”, tanya Heron, menarik kursi dan duduk berseberangan meja denganku.
“Ya”, sahutku rada bimbang. Menimang –nimang foto diri ku dalam ukuran poscard.
“Katamu surat itu akan kau antar sendiri”, Heron meneguk kopinya sedikit. Menyulut GG 12-nya. “Sebaliknya fotomu itu kau berikan lain kali saja, OK”, saran Heron.
“Kenapa ?”, tanyaku singkat.
“Bukankah kau bermaksud menyamar ?” balas Heron diantara asap yang mengepul. “Kalau kau memberikan fotomu ia akan mudah mengenalimu. Ia akan tahu kau mengibulinya”,
Aku merenung. Menimbang-nimbang saran Heron teman sepondokanku. Kali ini, aku memang berniat mengantarkan sendiri suratku pada Lilistiani dengan mengaku sebagai teman Oktavianus bila saja ia bertanya.
“Bagaimana ?” ujar Heron lagi mengusir lamunanku.
“Yah, betul juga katamu”, sahutku. Memasukan kembali foto itu kedalam album. Kusimak kembali surat yang baru selesai ku tulis. Mungkin ada kalimat-kalimat yang janggal atau kurang mengena atau menyinggung perasaan. Ternyata baik. Aku tak perlu lagi mengubah isi suratku. Cuma di paling akhir pada sudut kiri bawah terpaksa ku tambahkan NB yang menyatakan permintaannya akan foto belum dapat ku kabulkan.
“Aku pergi dulu”, kataku pada Heron setelah mengelam amplop surat itu baik-baik. “Kalau Yarlina datang nanti, suruh tunggu saja. Aku tak lama”
“Ok ! Beres. Aku bisa ngurusin dia”, sahut Heron.
“Ku kayuh sepedaku dalam keramaian lalu lintas. Mentari pukul sepuluh terasa hinggap di kepalaku. Seluruh tubuhku. Membuat butir-butir keringat mulai bermunculan. Namun aku tak peduli. Hal semacam ini memang biasa bagiku. Setiap hari aku pp ke kampus yang jaraknya hampir tujuh kilo meter.
Dalam mengayuh sepeda itu. Kurajut kembali ingatan pada Lilistiani. Sudah enam bulan persahabatan kami terjalin. Lewat surat tentunya. Dialah yang memulai terlebih dahulu. Ku pikir, ini memang wajar. Sebagai cerpenis pemula. Aku sering mempublikasikan cerpen-cerpenku lewat radio Volare atau Diah Rosanti. Sejak itulah aku mulai menerima surat-surat dari fans sekota. Bahkan ada juga yang langsung datang. Ke pondokanku. Berkenalan. Basa-basi menyatakan rasa kekagumannya. Bertanya itu ini tentang aku, karya-karyaku atau bagaimana cara membuat sebuah cerpen. Semua itu ku jawab seadanya. Sesuai kemampuan yang ada pada diriku. Bahkan dengan jujur dan terus terang ku katakan pada mereka bahwa aku ini sebetulnya cerpenis kaget.
“Cerpenis kaget ? Maksudnya ?”
“Ya, aku bisa menulis cerpen lantaran jatuh cinta pada teman wanita satu sekolah. Tapi sayang, cinta yang ku tawarkan dengan setulus hati ditolak. Walau penolakan itu dengan cara yang amat halus, namun tak urung hatiku koyak juga. Dan rasa pedih di hati kemudian ku salurkan lewat cerpen. Itulah awalnya”, aku menjelaskan.
“Pantas cerpennya bersedih-sedih melulu. Lain kali bikin yang happy end ya, Ok”
“Ya, ya, akan kucoba menulis dengan tema yang lain. Bukan soal cinta doang”
Begitulah !
Dari sekian banyak fans yang sering mengirimkan surat padaku, hanya Lilistiani yang belum pernah datang. Sekali waktu didalam suratku kepadanya, ia pernah ku undang. Tapi ia bilang tak sempat. Sibuk. Ia cuma menjajikan bila suatu saat nanti punya waktu luang, ia akan datang mengunjungiku. Tapi sampai sekarang itu belum ia penuhi. Maka aku menjadi penasaran. Aku ingin mengenalnya secara langsung. Mana tahu ia menarik hati dan mau menambal hatiku yang tercabik-cabik?
Lalu aku mulai merenda sosok Lilistiani di dalam angan. Tentu saja aku mengangankan dia seorang gadis yang cantik, sempurna bentuk tubuhnya, ramah dan menyenangkan sebagai teman. Dan aku terus saja membayangkan tentang dia. Lain tidak. Terlebih lagi bila suratnya tiba. Dan aku ingat pada suratnya yang pertama. Ia bercerita bahwa ia pernah mempunyai seorang teman seperti aku juga. Suka nyerpen. Tapi kini temannya itu sudah tiada lantaran kesetrum. Ia merasa amat sedih kehilangan sahabat baiknya itu. Dan pada suatu ketika secara kebetulan ia menyimak cerpenku yang dibacakan lewat radio Volare. Ia tertarik. Merasa menemukan kembali sahabatnya yang hilang. Entah benar atau tidak ceritanya itu, aku tak tahu. Mungkin itu hanya omongan tukang obat saja.
Tak terasa, aku sudah sampai didepan rumah yang kutuju. Rumah agak kuning. Terletak agak dipinggiran kota. Diantara rimbunnya pohon rambutan.
Kumasuki pekarangan yang tak begitu luas. Menyandarkan sepeda di pohon rambutan. Lalu aku melangkah menuju teras. Kuketuk pintu perlahan seraya mengucapkan salam. Terdengar jawaban dari dalam dan langkah-langkah kaki diseret menuju pintu. Pintu terbuka. Seorang gadis dengan kruk di ketiak berdiri dihadapan ku. Aku tertegun.
“Cari siapa, ya ?, ia bertanya.
“Betul ini rumahnya Lilistiani ?”, tanyaku.
“Ya, saya sendiri”, ia menjawab. “Ada yang bisa saya bantu?”
Ini...ada surat dari Oktavianus untuk anda”, aku mengangsurkan surat padanya.
“Trims ya”, katanya dengan senyum. “Panggil saja saya Lilis. Dan anda ?”, ia balik bertanya.
“Aris”, sahut singkat.
“Aris. Hm...nama yang bagus”, ia memuji.
“Oya, saya permisi dulu. Bukankah tugas saya sudah selesai ?”
“Lho, kok buru-buru ? Masuk dulu deh”, ia menawarkan. Aku masuk. Mengikuti Lilistiani dari belakang. Kuperhatikan langkahnya tertati-tatih. Kakinya disebelah kanan ternyata lebih pendek, ah.. tidak, lebih kecil dari kaki sebelah kiri. Dan telapak kaki kirinya itu,...ya Tuhan, sangatlah tidak sempurna. Bergulung macam daun pisang yang baru muncul dari batangnya.
“Silakan duduk”, ujar Lilistiani membuyarkan ketermanguanku.
“Terima kasih”, balasku dengan suara yang nyaris lenyap sebelum lewat tenggorokan. Dan aku duduk di hadapannya sehingga sekilas pintas aku dapat memperhatikan wajahnya.
“Sering jumpa Oktavianus, ya ?, Lilistiani bertanya padaku.
“Ya, aku memang sering main ke pondokannya. Soalnya kami sekampung”
“O...jadi Oktavianus bukan asli orang sini, ya ?”
“Betul”
“Apa ia masih kerja atau sekolah ?”
“Baru saja tamat SMA”
“SMA mana ?”
“SMA Negeri 3. Dan aku dengar, ia melanjutkan ke FE UNTAN”, aku menjelaskan.
“Wah....kalau begitu kami satu fakultas nanti”
“Jadi, Lilis sudah kuliah juga ?”
“Ya, FE UNTAN. Tahun ajaran baru ini nanti saya memasuki semester lima”
Aku tercekat mendengar penuturannya. Aku sendiri kuliah di FE UNTAN. Tetapi belakangan setahun dari dia. Ah ! aku mencoba merangkum ingatan setelah beberapa kali mencuri pandang. He, mungkinkah Lilistiani ini gadis yang sering ku saksikan membonceng pada temannya bila ke kampus ? Tak salah lagi, inilah dia ! Tapi...dia tentu belum mengenalku.
Dan omongan masih berlanjut. Dia banyak bertanya tentang Oktavianus, sang cerpenis sahabatnya. Dan semua pertanyaan ku jawab secara gamblang. Karena sesungguhnylah Oktavianus adalah aku sendiri yang menyamar sebagai Aris. Ah...semoga saja ia tak tahu bahwa yang kini berbincang-bincang dengannya adalah orang yang selama ini menjadi idolanya.
Setengah jam kemudian, aku pulang membawa rasa kecewa lantaran impian dan kenyataan amatlah berbeda. Aku mengangankan Lilistiani seorang gadis sempurna tanpa cacat. Tapi nyatanya ?
“Berhasil ?”, tanya Heron begitu aku nongol diambang pintu.
“Berhasil ? Ya memang berhasil. Cuma hasilnya tidaklah seperti yang ku harapkan”, kataku lesu.
“Kenapa ?Cantik orangnya ?”
“Kalau aku tidak terlanjur menganyam mimpi”, ujarku lemah. “Dan mimpiku bukan yang muluk-muluk, barangkali aku masih bisa mengatakan bahwa Lilistiani itu tidak jelek. Tapi....sekarang aku mesti bilang apa ? Dia pincang. Wajahnya tak bisa digolongkan cantik. Dan yang tak pernah ku bayangkan adalah dia, dia satu fakultas denganku. Cuma lain tingkat”.
“Pantaslah dia tak pernah mau datang kemari”, balas Heron. “Sekarang bagaimana ? Apa kau masih suka bersahabat dengan dia ?”
“Entahlah”, aku masuk kamar. Terbaring lesu diatas dipan.
Sejak itu, beberapa kali surat Lilistiani datang lagi. Namun tak pernah kugubris. Tak pernah kubalas. Dan bila kuliah. Aku mesti kucing-kucingan untuk menghindari pertemuan dengannya. Aku merasa malu punya teman yang cacat seperti Lilistiani.
Akan tetapi, lama-lama aku bosan main kucing-kucingan. Aku mulai sadar akan kekeliruan yang dalam mencari sahabat hanya menilai dari bentuk lahiriah saja. Tidak menilai dari segi dalam. Ya, sebab bukan mustahil yang berwajah jelek, cacat, mempunyai hati yang mulia. Budi yang luhur. Dan bukan mustahil pula, yang punya paras cantik memiliki perangai buruk. Ya, semua bisa saja !
Aku menyesal. Namun datangnya sudah terlambat. Hanya aku berharap, kelak bila aku mencari sahabat, aku tidak akan mengulangi kesalahan serupa. Menilai seseorang Cuma dari kulitnya. Dan sesungguhnya, didalam diriku sendiri memiliki cacat yang lebih buruk dari apa yang dimiliki oleh Lilistiani, gadis yang kini jauh dariku dan entah kapan dapat berjumpa lagi. sebab lima bulan setelah pertemuan itu, aku meninggalkan kota Pontianak. Berhenti kuliah dan pulang ke desa tercinta.
Hingga sekarang, aku tak pernah lagi datang ke kota Khatulistiwa itu. Tak juga menyurati Lilistiani. Pula tak pernah menyemarakan acara cerpen di radio Volare atau Diah Rosanti. (buat : CD. Kenangan Juli ’83)
= s e l e s a i =
HCSA. 18.04.89
Minggu, 1 Maret 1998
Catatan : 1. Disinilah saat fiksi merupakan fakta. Fakta pertama pada tahun tersebut orang di kota Pontianak masih memakai sepeda pergi ke kampus atau wakuncar. Sekarang semua merasa gengsi pakai sepeda, apalagi wakuncar. Malu tidak seperti di kota Yogyakarta.
2. Cerpen ini tercipta karena frustasi? Jika benar merupakan bentuk saluran frustasi yang sangat mistisius. Jarang orang yang sedang mengalami frustasi mampu menghasilkan sebuah karya, apalagi karya sastra.
3. Fakta/kenyataan. Sebuah fakta kadang menyakitkan, kadang menyenangkan. Namun tanpa fakta, maka dunia ini penuh dengan kebohongan dan angkara murka. Beruntunglah si lakon dalam cerpen ini kemudian hari menyadari fakta yang terjadi mau berteman dengan tokoh Lilistiani karena tidak cacat dan berusaha tidak mengulanginya lagi.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking