Saterdag 09 Maart 2013

Surat Lamaran

“SURAT LAMARAN”
Cerpen : Lukas. MG

Loren memberi nilai tujuh dengan alasan alis Aylina lentik seperti busur panah. Iswan dan Gansi memberi nilai enam setengah karena di pipi gadis itu ada jerawat batu yang tak hilang-hilang. Sedangkan Deden memberi nilai paling tinggi, yaitu delapan.
“Wah. . . .tidak bisa. Itu terlalu tinggi”, protes Iswan dan Gansi.
“Kalian pun memberi nilai terlalu rendah. Masa gadis begitu cantik dapat nilai enam setengah?”, bantah Deden.
“Tapi jerawat batunya. . . .”, ujar Gansi sengit.
“Masih lebih bagus tokh daripada pacarmu yang matanya juling sebelah?”, ledek Deden. Iswan dan Loren ketawa. Wajah Gansi merah seperti rambutan masak. Pacarnya si Wati memang juling sebelah. Tapi kalau dia memejamkan matanya, nah. . . .baru kelihatan jelas betapa cantiknya dia. Apalagi jika dipandang dalam keadaan remang-remang, wah. . . .Deden pun pasti ngiler juga.
“Baik! Kuakui pacarku memang juling sebelah. Tapi kau agaknya belum tahu kehebatannya”, Gansi membela.
“Jadi kau ingin agar aku mencoba kehebatan pacarmu? Eh. . .kau taruh dimana nanti mukamu?”
Lagi Loren dan Iswan ngakak. Gansi terpojok. Mengap-mengapan kelebihan oksigen.
“Sekarang begini saja”, kata Loren menengahi. “Deden memberi nilai delapan tentu ada apa-apanya to?”
“Lantas?”, sambung Deden.
“Kau tentu naksir dia”
“Betul ! Akan kujadikan dia pacarku yang setia. Terutama pada akhir bulan seperti sekarang ini”
“Wah. . .cinta komersil rupanya”, komentar Iswan.
“Terang dong! Cari pacar mestilah yang materinya dapat diandalkan. Jangan seperti Ita pacarmu itu. Apa yang kau dapat dari dia? Paling-paling uangmu juga yang dihabiskannya”
“Oke. Saya punya ide bagus. Bagaimana kalau kita taruhan, Den”, sela Loren.
“Apa yang akan dipertaruhkan?”, sahut Deden.
“Begini!”, Loren mulai memaparkan rencananya. “Kalau Deden berhasil menggaet Aylina, maka kami bertiga akan mentraktir minum-minum di “Valentine”. Tetapi kalau tidak berhasil, maka kaulah yang harus mentraktir kami bertiga”.
“Saya setuju sekali”, Gansi menimpali.
“Baik! Saya juga setuju”, sahut Deden. “Akan saya buktikan pada kalian bahwa saya sanggup menaklukkannya”
“Ingat, batas waktunya sebulan dari sekarang”, sambung Loren. Dan perbincangan serta perbantahan dan pertaruhan di bawah pohon akasia sore itupun diakhiri. Mereka kemudian bersama-sama turun ke sungai untuk mandi.
Kini, Deden jadi rajin mendatangi Aylina yang menjaga toko Pasti Puas milik bapaknya. Ada-ada saja keperluan yang ia jadikan alasan untuk dapat berbincang-bincang atau bercanda dengan gadis itu. Misalnya beli peniti, kaos kaki, pencabut bulu ketiak, bahkan sekali waktu kantongnya lagi tipis sebab bulan tua, ia Cuma beli sebatang korek kuping.
“Dari pagi, siang, sore, hingga malam, kamu tak pernah beranjak dari toko ini. Apa tidak bosa, Lin?”, tanya Deden pada Aylina suatu malam. Waktu itu ia bermaksud membeli sepatu.
“Namanya cari duit, mana ada orang yang bosan, Den”, balas Aylina.
“Maksud saya, sekali-sekali kek nonton filem atau rekreasi biar tak jenuh. Kalau tak keberatan, aku juga bisa menemani”
“Nonton filem sih suka juga kalau filemnya bagus. Dan rekreasi. . . .eh mana tempat yang baik di daerah ini. Paling-paling ke Padung atau Simpi. Apa yang dilihat di sana? Tak lebih dari tanah-tanah gundul. Bukit-bukit yang sudah diruntuhkan bekas orang cari emas”
“Tapi mendengar desir ilalang tertiup angin atau senandung burung di pohon karet, kan asyik juga”, Deden terkekeh pelan. Lalu sebelah matanya dikedipkan seperti lampu neon kekurangan daya listrik.
“Asyik jidatmu, heh?”. Aylina seakan marah.
“Eit. . .marah ni ye”, Aylina memberengut. Dengan ngakak.
“Jadi nggak beli sepatu ini?”, Aylina tiba-tiba sadar bahwa waktunya banyak disita oleh Deden.
“Apa tak bisa dikurangi sedikit lagi? Soalnya, terlalu mahal sih”, Deden mengeluh.
“Maunya berapa?”
“Lima ribu saja, bisa?”
“Wah. . .tidak bisa. Tujuh ribu lima ratus baru kembali modal. Apa kau suka lihat aku bangkrut?”
“Ya, nggak dong! Kalau kamu bangkrut dan tak bertoko lagi, saya kan susah bila akan jumpa sama kamu”
“Kamu boleh datang ke rumahku, eh. . . .bukan, aku belum punya rumah – itu rumah bapakku. Nah kamu boleh cari aku ke sana”
“Tidak ada yang marah?”
“Siapapun yang datang dengan maksud baik, akan diterima dengan baik juga. Tapi kalau kamu bermaksud jelek, nah. . . .bersiap-siaplah menyambut gebukan palang pintu. Bapakku galak tau”
Deden cengengesan. Ia tak jadi beli sepatu. Aylina bersungut dalam hati. Deden lalu keluar dari toko itu dan terus menuju gedung bioskop. Ia masuk dengan selembar karcis pegawai yang tarifnya setengah dari umum. Oleh sebab itu tanpa nomor tempat duduk. Namun itu tidaklah jadi masalah karena akan selalu tersedia tempat duduk dimana suka. Aturan duduk sesuai nomor seperti tak berlaku sebab kebanyakan penonton tak mematuhinya.
Belum setengah jam di dalam, Deden keluar lagi. Filemnya putus terus sehingga penonton jadi riuh. Deden lantas menuju ke “Valentine”, mencari tiga konconya yang kini menjadi lawan dalam bertaruh. Biasanya, mereka minum arak di situ.
Benarlah agaknya dugaan Deden. Wajah Iswan sudah merah pucat-pucat seperti tomat ketika ia datang. Deden lalu memesan segelas arak lagi.
“Tampaknya, kau akan berhasil”, kata Loren. “Kami tadi lewat dan melihat asyiknya kalian ngomong”
“Pokoknya saya tak perlu omong besar seperti Muhamad Ali yang sudah loyo. Sampai waktunya nanti, akan terbukti bahwa Aylina dapat kutaklukkan”, sambung Deden lantas menegakkan minumannya.
“Ingat, waktunya tinggal dua minggu lagi, Den”,sela Gansi.
“Kalem, Si”, balas Deden. “Kau tahu, orang yang bijaksana adalah orang yang pandai memanfaatkan waktu, bisa membaca situasi, dan dapat mengambil kesimpulan yang tepat”
“Lalu apa hasilmu selama dua minggu ini?”,tanya Iswan.
“Tujuh puluh lima persen sudah kuketahui wataknya. Aylina punya sifat ramah, senang bercanda, dan menyenangkan dijadikan teman”
“Aku khawatir, jangan-jangan kamu nanti ditolaknya”, tambah Loren.
“Alasannya?”
“Ia menjaga toko. Prinsip orang dagang kamu tahu?”, balas Loren. “Penjual yang baik adalah yang menjadikan pembeli seumpama raja. Dilayani dengan sebaik-baiknya”
“Aku tahu”, sahut Deden. “Kau pikir Aylina ramah kepadaku karena ia penjual dan aku pembeli?”
“Tepat sekali”, Iswan menimpali.
“Dengarkan, semua yang kalian sangka meleset sama sekali. Aylina bahkan telah mengundang aku untuk datang ke rumahnya”
“Wah. . .hebat nian kau”, seru Gansi seakan kagum tapi nada suaranya mengejek.
“Kalau tidak hebat, bukan Deden namanya”, Deden menempap dadanya lantas ngakak. “Lihat saja nanti, aku sudah punya ide yang, hmm. . . .”, Deden mengacungkan jempolnya.
Beberapa malam setelah itu, Deden datang lagi ke Valentine. Sendirian. Ia langsung memesan arak kacang dua gelas sekaligus.
“Apa? Dua?”, Nina penjaga warung itu hampir terpekik. Kacamata minus satunya nyaris jatuh.
“Ia, kenapa?”, sahut Deden. Wajahnya distel serius.
“Kau Cuma sendiri, tapi minta arak dua gelas sekaligus. Bagaimana tuh? Kau sudah mabok, ya?”
“Aku ingin agak pusing, biar nyaliku jadi bertambah. Sebab ada hal yang mesti kuhadapi dan memerlukan keberanian khusus”, Deden menjentik hidung Nina, tapi gadis itu gesit mengelak.
“Awas kalau kau bikin gaduh di sini. Kutumpahkan arak ini di kepalamu”, kata Nina cemberut.
“Eit. . . marah, ni ye?”, Deden cengengesan. Nina mengangsurkan setengah gelas arak pada Deden.
“Lho. . . .kok Cuma setengah, Nin?”, kali ini ganti Deden yang kaget. “kau takut aku tak kuat membayar?”
“Hush. . . .bukan begitu”, balas Nina. “Aku melihat suatu gelagat tak baik pada dirimu. Kau rupanya akan menjadi minuman sebagai pelarian. Dan itu tak baik. Minumlah secukupnya saja. Pak Usen bilang, minum sedikit untuk kesehatan, minum banyak untuk pergaulan, dan munim terlalu banyak untuk kebinasaan. Kau paham?”
Deden mengangguk. Tak disangka gadis ini cerdas juga. Menyesal selama ini ia menganggap Nina hanya penjaga warung yang tak berisi  apa-apa seperti gendang.
“Sekarang katakan kepadaku apa persoalan yang kau hadapi”, ujar Nina lagi. Deden tak segera menjawab. Ia menatap Nina tak berkedip seakan menimbang-nimbang patutkah ia membagi cerita pada gadis ini.
“Kau takut karena aku perempuan dan akan berkicau kesana-kemari tentang halmu?”
“Bukan begitu”, sahut Deden. “Tadinya aku juga sudah berpikir untuk meminta bantuanmu”
“Dalam hal apa?”
“Menyampaikan suratku pada Aylina, kau bisa kan?”
“Berapa kilo sih berat suratmu hingga aku tak sanggup membawanya?”
Deden memberikan surat dalam amplop ukuran kabinet pada Nina.
“Tebal amat, Den?”, tanya Nina heran. “Apa saja sih isinya?”
“Tentu saja surat cinta, bego!”, sahut Deden dengan nada bercanda. Nina tersenyum.
Dua hari kemudian, surat dalam amplop kabinet itu sudah terhimpit di bawah tumpukan celana dalam di almari pakaian Aylina. Ketika menerimanya, Aylina rada kaget sebab surat itu tidaklah seperti lazimnya surat-surat cinta lelaki lain yang sering ia terima, entah ia kenal baik, agak kenal, ataupun tidak sama sekali. Betapa tidak, surat yang panjangnya satu setengah halaman folio ketik rapi bernada puitis, dilampiri pula dengan foto copy ijazah milik Deden dari TK hingga SMA dan juga SK pengangkatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil.
“Bah! Apa-apaan si Deden?”, pikir Aylina. Otaknya sampai mumet. Dua hari kepalanya pusing berdenting-denting memikirkan hal itu dan mencari jalan bagaimana sebaiknya menanggapi surat orang sinting itu. Dua hari pula ia menutup tokonya karena tak ada  orang lain yang dapat menggantikan tugasnya.
* * *
Ini kamis malam, sama artinya dengan malam jumat. Malam yang kata orang tua-tua saat setan dan roh jahat bergentayangan. Malam saat mana orang-orang yang punya hajat jahat melaksanakan niatnya dengan ilmu guna-guna. Akan tetapi buat Deden, malam ini adalah malam yang sangat berarti. Bukan karena ia tak percaya pada semua cerita orang tua-tua itu, melainkan karena pada malam angker ini ia dengan gemilang berhasil menuntut Aylina masuk gedung bioskop seperti gembala menuntun ternaknya masuk kandang.
Di dalam bioskop yang remang-remang dan kadang agak terang, beberapa kali Deden menatap Aylina dengan mata bulat-bulat seperti kue kelepon, lantas ia senyum-senyum sendiri. Ia merasa dadanya mekar seperti kerupuk digoreng.
“Ada apa sih senyum-senyum sendiri macam orang sanget? Tanya Aylina yang merasa risi.
“Orang tersenyum tentu karena merasa senang”, balas Deden. “Dan aku senang karena  kau mau kuajak nonton”
“Aku juga senang dapat nonton denganmu malam ini”, jawab Aylina.
“Selain itu, oleh karena ini filem India tentu saja kita akan berdampingan lebih lama di sini. Kau setuju kan?” tambah Deden. Tangannya mulai menjalar seperti ular mencari tikus. Yang dituju adalah paha Aylina yang mulus putih. Namun sebelum sampai, tangannya terasa amat perih seperti terjentik karet gelang. Hampir saja Deden memekik kalau tak sadar ramai orang di samping mereka. Deden meringis menahan sakit seperti kera kepedasan.
“Kau ini kenapa?”, tanya Aylina pura-pura. Padahal tadi ia yang menjepit tangan Deden dengan pencabut bulu ketiak yang tadi sudah ia lumuri dengan sambal cabe.
“Kau keterlaluan sih, masa tanganku kau cubit?”
“Itulah balasan untuk orang yang jahil”, sahut Aylina.
Ketika pulang, Deden mengantar Aylina. Di halaman yang remang-remang, Deden menarik Aylina ke dalam dekapannya. Gadis itu seperti menyerah dan menanti apa yang akan dilakukan Deden. Seperti sapi dilanda birahi, Deden hendak mengecup bibir merah merekah seperti kecambah jengkol. Akan tetapi, begitu jarak antara kedua bibir yang akan berpagut itu tinggal dua sentimeter lagi, dari samping rumah terdengar anjing menggonggong keras, berlari ke arah Deden dan mendengus-dengus dekat betisnya. Tentu saja Deden kalang kabut, sementara Aylina tampak kalem. Deden beragak hendak mencari batu atau kayu, tetapi Aylina mencegahnya.
“Itu anjing kesayanganku. Tak boleh kau mencederainya” kata Aylina.
“O. . . .anjingmu rupanya. Kenapa begitu galak?”
“Ia tidak galak. Ia amat baik. Ia berbuat begitu karena melihat kau hendak menelanku. Paham?”, sahut Aylina. “Sekarang, kau tunggulah di sini sebentar”, Aylina masuk setelah sebelumnya melarang anjingnya mengganggu Deden. Tak berapa lama, Aylina keluar lagi. Di tangannya tergenggam sebuah amplop.
“Ini Den, ambillah kembali surat-suratmu ini. Aku belum memerlukannya. Juga cinta setulus hati yang kau tawarkan. Maaf”, Aylina memberikan amplop itu pada Deden. Serasa digayuti baja seribu kati, tangan Deden menjemput surat itu.
Aylina membalik akan masuk, tapi Deden menahannya.
“Tunggu dulu, Lin”, katanya. “Boleh aku tahu mengapa semua ini kau tolak?”
“Kau satu-satunya lelaki kurang ajar yang pernah kutemui. Selain itu, aku sudah mengikat janji dengan orang lain”
“Siapa?”
“Temanmu sendiri, Loren!”
“Apa?”
Deden merasa kepalanya dipusing seperti gasing. Berdenging telinganya bagai mendengar dadu berputar di dalam piring. Dan tanah tempatnya berpijak serasa tak rata lagi, ataukah kakinya yang tiga-tiba pendek sebelah?

= s e l e s a i =
HCSA. 021288





Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking